Mari kita ejawantahkan rumus E = m.C2 menjadi dua hal yang berbeda karakter namun sama-sama memiliki pengaruh yang luar biasa. Rumus E = m.C2 seperti yang sudah awam diketahui adalah sebuah formulasi dari bidang fisika. Namun apakah rumus tersebut berlaku di bidang sosial? Bisa juga. Dia akan digunakan untuk mengetahui takaran kebijakan menaikkan harga barang, menaikkan gaji, menaikkan tarif, dan lainnya.
Bila Albert Einstein memaparkan bahwa E adalah energi yang dihasilkan, kemudian m adalah massa atau bobot sebuah atom, dan C adalah konstanta atau angka yang sudah ditetapkan atau fix variable, maka penentu
besarnya E adalah m.
Kenapa bukan C?
Karena C sudah menjadi angka yang tak bisa diubah. Dengan
kata lain, besaran m dapat berubah
tergantung berat atom itu sendiri. Bila atom semakin berat, maka dahsyatnya
ledakan E semakin besar. Dan sebaliknya, m kecil ledakan pun kecil.
Kemudian, mari
kita bikin maksud dari pemaparan Einstein tersebut menjadi formulasi
sosialita di kalangan rakyat, khususnya
formulasi atas kenaikan harga. Maka E bisa saja dikatakan sebagai ungkapan
beban masyarakat alias seberapa
besar energi yang akan diluapkan masyarakat. Sementara m, yang tadinya adalah massa, kita
anggap saja menjadi angka kenaikan harga.
Bila m dalam formulasi Einstein merupakan variable penentu, maka m dalam formulasi kebijakan menaikan apapun di segala faktor kehidupan, juga sebagai variable yang bisa mengindikasikan untung rugi. Apa maksud untung rugi tersebut? Yakni siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan oleh kenaikan harga tersebut. Baiklah, tanpa banyak berbicara, mari kita ejawantahkan segera .
1.
Anggap m adalah kenaikan harga 1,5 kali
lipat akibat harga bahan bakar minyak (BBM) bersubdisi naik. Dan C2
tak lain adalah konstanta harga BBM bersubsidi (harga Pertalite sekarang Rp 10 ribu). Sedang E kita anggap
sebagai asumsi pendapatan masyarakat ideal per
tahun dalam satuan rupiah (Rp). Maka inilah hasilnya :
E = 1,5 x (10.000)2
Maka hasil E sebagai pendapatan
ideal = Rp 150.000.000 per tahun atau Rp 12.500.000 per bulan
Lalu bila terjadi kenaikan harga 2 kali lipat, maka E
= 2 x (10.000)2
Maka hasilnya adalah E = Rp 200.000.000 per tahun atau Rp 16.666.666. per bulan, dan seterusnya. Pertanyaannya, sanggupkah
pemerintah menjamin supaya rakyat bisa mendapatkan penghasilan ideal tersebut? Penghasilan Rp 12,5 juta - Rp 16,6 juta
per bulan loh!
2.
Lalu anggap saja pendapatan rakyat meningkat 1,5 kali setelah terjadi kenaikan harga BBM,
sehingga m adalah kenaikan pendapatan 1,5 kali lipat sebagai
kompensasi harga bahan bakar minyak (BBM) bersubdisi naik. Dan C2
tak lain adalah konstanta harga BBM bersubsidi. Sedang E kita anggap energi kemeriahan lantaran kenaikan
pendapatan, yang disederhanakan menjadi persentase (%) maka inilah
hasilnya :
E = 1,5 x (10.000)2
Maka hasil E = 150% alias makin tajir. Bila seseorang dengan pendapatan Rp150 juta per tahun, maka dengan
kenaikan gaji 1,5 kali lipat itu,
dia akan mendapat kemudahan yang besar. Karena
gajinya menjadi Rp225 juta
per tahun atau Rp 18,75 juta
per bulan. Tapi bagaimana
dengan yang pendapatannya miliaran per tahun? Sudah tentu akan sangat senjang
dengan yang pendapatannya ratusan
juta.
3.
Lalu anggap pula m adalah kenaikan tarif
angkutan 1,5 kali lipat sebagai kompensasi harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubdisi naik. Dan C2 tak lain adalah konstanta harga BBM
bersubsidi. Sedang E kita anggap sebagai asumsi berapa besar beban energi pemerintah dalam mengeluarkan
duit untuk pemeliharaan
fasilitas angkutan, perbaikan layanan, perbaikan alat, dan sebagainya (dalam
satuan Rp). Inilah hasilnya :
E = 1,5 x (10.000)2
Maka hasil E = 150% alias beban makin berat. Bila beban pemerintah dalam menjalankan
sebuah moda transportasi memerlukan dana
hingga Rp 100 juta per bulan, maka
dengan kenaikan gaji 1,5 kali lipat, mereka harus mencari dana menjadi Rp 250 juta per bulan.
Bagaimana cara pemerintah mendapatkan tambahan dana 150 persen tersebut?
Maka dapat disimpulkan bahwa risiko menaikkan sesuatu yang
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, akan menimbulkan dampak yang luas
di berbagai sendi kehidupan. Adapun dalam berkehidupan di Indonesia, BBM
bersubsidi adalah salah satu faktor penting yang membebani biaya perniagaan,
biaya jasa, dan biaya-biaya lainnya.
Sangat masuk akal, bila kebijakan menaikkan harga, menaikkan
tarif, dan sebagainya dilakukan dengan memperhitungkan dampak ke depannya
secara hati-hati dan penuh antisipasi, atau bersiap dengan kesenjangan sosial yang memicu gejolak
besar-besaran.