Misteri Kampus IPB, Dililit Sanca Raksasa

Bi Oti sadar betul, ada yang sedang mengikutinya, seperti mengintai dari jauh. Suara pergerakannya terdengar cukup jelas, seperti dedaunan dan rerumputan yang saling bergesekan. Dia pun mempercepat langkahnya. Namun tak berapa lama kemudian setelah dia melangkah dengan cepat, di hadapannya malah muncul...

 


Foto kampus IPB Dramaga dari udara (tengah adalah gedung rektorat).


Bi Oti atau yang kami sering sebut Bi O'ot adalah seorang perempuan yang berusia sekitar 40-45 tahun, yang setiap harinya rutin pulang-pergi ke Komplek Dosen (Komdos) IPB di kampus IPB University, Dramaga, Bogor. Kami sebut Bi O'ot, bukan karena orangnya suka OoT (Out of Topic) ya, karena istilah itu belum terkenal di tahun 1998. Tapi supaya gampang diingat saja.

Lah, ngapain Bi Oti alias Bi O'ot bolak balik saban hari ke Komdos? Tak lain, urusannya adalah membantu bersih-bersih di rumah-rumah yang ada di Komdos. Salah satunya adalah di rumah kost kami, Jalan Cempaka No. 7, Komdos. Bi Oti datang ke kost kami di antara dua waktu ini: pagi hari sebelum pukul 7 pagi atau pukul 10 pagi. Dia bekerja sekitar 2 jam di setiap rumah yang dia kerjakan. Ya, Bi Oti bekerja di tiga tempat dalam sehari. Kadang dia langsung mengerjakan tugasnya di kost kami, kadang di rumah lain dulu barulah kemudian di tempat kami, dan seterusnya.




Saat itu, Bi Oti dibayar Rp 75 ribu per bulan untuk satu rumah. Berarti bila ada tiga rumah, dia bisa dapat Rp 225 ribu per bulan. Lumayan, di saat para mahasiswa hanya dibekali uang saku Rp 150-200 ribu per bulan oleh orang tua di rantau.

Sesaat setelah matahari mulai menerangi bumi alias beberapa menit setelah bubar shalat subuh berjamaah, Bi Oti sudah keluar dari rumahnya. Namun hari itu, boleh jadi adalah hari yang tidak akan terlupakan bagi Bi Oti. Seperti biasa, Bi Oti datang ke kost kami pada pukul 05.45 pagi. Bi Oti langsung menuju dapur, mencuci bekas piring dan gelas yang kami gunakan sehabis makan dan minum semalam. Setelah cuci piring, Bi Oti lanjut menyapu bersih semua sudut ruangan kost. 

Tapi kemudian, baru sekitar pukul 06.15 dia teringat sesuatu. "Astagfirullah. Kunci rumah kebawa," ungkap Bi Oti.  Perempuan itu mempunyai empat anak dan seorang suami. Dua anaknya, yang sulung dan kedua, sudah menikah dan tinggal bersama suami mereka. Dua lagi, masih SD dan SMP. Sedangkan suaminya, bekerja sebagai sopir angkot rute Kampus Dalam-Stasiun Merdeka (Terminal Bubulak belum ada saat itu). Sehingga dua anaknya yang terakhir itu, hampir tiap hari berangkat bareng ayahnya yang narik angkot. 

Namun hari itu, lagi-lagi dia membawa kunci rumah ke tempat kerja. Padahal biasanya kunci rumah dia taruh di bawah keset rumahnya, sehingga suaminya yang bawa kunci itu. Kalau sudah kebawa oleh Bi Oti begitu, maka suaminya hanya mengantar anaknya saja ke sekolah, kemudian dia terpaksa balik lagi ke rumah sambil ngomel-ngomel, lantaran harus menunggu Bi Oti pulang. Karena akan sangat rawan bila rumah mereka tidak terkunci cukup lama. Lebih baik suaminya tidak narik atau narik setengah rit saja, demi keselamatan isi rumah.

Hari itu, karena kunci rumahnya terbawa, Bi Oti langsung meminta kami mengantarkannya hingga ke arah jalan setapak jalan potong dari Komdos menuju kawasan rumahnya. Dari jalan setapak itu, Bi Oti jalan kami sampai rumahnya. Adapun jalan setapak itu, berada di dalam kawasan hutan praktikum. Seperti diketahui, Komdos sendiri berada di dalam area kampus IPB Dramaga, yang kelilingi oleh lahan yang rimbun dan luas, serta hutan buatan untuk para mahasiswa (terutama Fakultas Kehutanan) melakukan praktikum. Dari jalan setapak itulah Bi Oti memotong kompas, dari Komdos menuju rumahnya.

Akhirnya, Samsul, kawan kami di kost yang bersedia mengantarkan Bi Oti hingga ke hutan praktikum yang terdapat jalan setapak itu. Usai mengucapkan terima kasih, Bi Oti pun berjalan menyusuri jalan setapak tersebut. Waktu menujukkan pukul 06.30 dan suasana masih cukup penuh kabut, karena malam tadi Dramaga diguyur hujan cukup lebat. Baru sekitar 50 meter Bi Oti berjalan, dia merasakan ada sesuatu yang juga ikut berjalan bersamanya, dari arah yang tidak jauh dari tempatnya berpijak.

Bi Oti sadar betul, ada yang sedang mengikutinya, seperti mengintai dari jauh. Suara pergerakannya terdengar cukup jelas, seperti dedaunan dan rerumputan yang saling bergesekan. Dia pun mempercepat langkahnya. Namun tak berapa lama kemudian setelah dia melangkah dengan cepat, di hadapannya pun muncul mahluk sangat besar melintas. Jaraknya hanya 10 meter dari tempatnya berdiri. Dan mahluk itu ternyata adalah ular sanca besar. 

Bi Oti melihat ukuran kepala ular itu hampir sama dengan kepalanya, dengan diameter yang lebih besar dari pahanya. Dia memprediksi, panjang ular itu bisa sampai 7-8 meter. Gerakannya pun seperti sedang mengepung Bi Oti dari arah depan. Bi Oti langsung teriak dengan sekuat tenaga, sampai teriakannya terdengar oleh Samsul yang sudah cukup menjauh dari tempat Bi Oti diturunkan.


Jalur orange - jalan setapak, jalur abu-abu = jalanan aspal.


Bi Oti pun memutuskan berbalik arah untuk kembali ke arah Komdos, keluar dari area hutan praktikum. Sedangkan Samsul yang merasakan sesuatu yang tidak beres, dia juga ikut memutarbalikkan motornya, menuju ke area hutan praktikum. Sampai di tempat dia menurunkan, tampak juga seorang laki-laki yang ikut mendekat ke jalan setapak itu, karena ternyata dia juga mendengar terakan Bi Oti. Bersama lelaki itu, Samsul masuk ke area hutan dan mengikuti jalan setapak.

Dan ternyata benar saja, tampak Bi Oti sedang terengah-engah bergelut dengan ular besar itu. Ternyata ular itu sudah berhasil menyergap Bi Oti. Samsul dan lelaki (yang juga mahasiswa IPB) kebingungan, karena tak tau harus berbuat apa. Namun mereka juga sadar, bila dibiarkan, Bi Oti bisa tewas. Akhirnya Samsul berinisiatif melemparkan batang kayu yang dia temui di dekatnya, ke badan ular tersebut. Sedangkan mahasiswa yang satu lagi, mencari sesuatu untuk dipukulkan ke arah kepala si ular. 

Karena dilempar tidak mempan, Samsul pun ikut mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk memukul kepala ular. Sementara Bi Oti yang sudah terlilit sebagian tubuh bagian bawahnya oleh ular besar itu, masih mencoba melawan si ular yang sedang mencoba melilit bagian perut dan dadanya. Namun tenaga Bi Oti sudah nyaris habis karena melawan. 

Samsul dan mahasiwa itu pun akhirnya menemukan batang kayu yang cukup panjang. Keduanya pun memukulkannya ke arah kepala ular. Namun ular besar itu tidak serta-merta mau melepaskan lilitannya dari Bi Oti. Dia bahkan menyerang Samsul, saat Samsul mencoba memukulkan kayu ke arahnya. Namun karena mahasiswa yang membantu itu juga memukul-mukul kayu ke badan si ular, akhirnya ular tersebut pun melepaskan lilitannya dan akhirnya pergi.

Setelah terlepas dari lilitan, Bi Oti pun pingsan. Samsul dan mahasiswa itu menggotong Bi Oti keluar dari area jalan setapak. Sesampai di luar kawasan hutan praktikum, barulah bermunculan orang-orang yang menolong Bi Oti. Panjang umur, ternyata Bi Oti selamat dari lilitan maut ular sanca, dan kini membuatnya trauma terhadap ular..









Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)