Buat kami para perantau dari Himpunan Alumni IPB Bekasi dimana pun, melihat makanan dan minuman dari berbagai daerah, murah, enak, dan banyak dalam satu porsi, ibarat melihat kepingan harta karun. Sajian khas tersebut menjadi semacam obat bagi mereka, yang jauh dari daerah asalnya. Sebagai orang yang hidup di Jakarta dan Bekasi sejak 1988, orang tua kami rata-rata perantau. Walau sudah 33 tahun hidup di kawasan Ibukota dan sekitarnya, kami tetaplah seorang perantau karena orang tua memang dari rantau.
Pempek kenangan
Pempek Palembang adalah kesukaan kami. Inilah salah satu cerita kami. Rentang waktu cerita ini 1984-1988. Di Tanjung Uban, Kepulauan Riau (Kepri), tepatnya di SD Negeri 002 Tanjung Uban, hampir tiap hari Kedai Pempek Nek Tum jadi tempat singgah sepulang sekolah.
Kedai itu hanya dengan bilik bambu seluas 3x3 meter, tepat menempel dengan dinding halaman depan samping SDN 002. Nek Tum adalah seorang nenek yang menjual, sekaligus pemilik kedai pempek tersebut. Dia berjualan pempek ditemani anaknya, seorang ibu muda yang entah siapa namanya, aku sudah lupa, ikut melayani para pembeli.
Pada waktu itu (sekitar tahun 1984-1986) harga pempek Nek Tum adalah Rp 25,- per biji atau per lapis. Wah, betapa murahnya! Betul, karena pempek Nek Tum tampilannya tak macam pempek Palembang. Bentuknya pipih, ceper, seperti telur dadar, diameternya sekitar 15 cm dan tebalnya mungkin sekitar 0,5 cm saja. Namun tetap kenyal (seperti sensasi makan bakwan), rasa ikan jelas, dan cuko pempek tersebut pun asli seperti di Palembang.
Sepulang sekolah, banyak siswa beli pempek tersebut, yang rata-rata sebanyak 2 lapis, yaitu seharga Rp 25,- x 2 = Rp 50,- saja. Itu pun sudah dengan air putih segelas. Tahun 1987 kami mencoba ke daerah tetangga, yakni Tanjung Pinang. Di Tanjung Pinang, tak ada pempek macam Nek Tum. Semua pempek yang yang ditemui adalah yang seperti dijual di Palembang: kapal selam, lenjer, dan bulat.
Tak ada lagi yang seharga Rp 25,- per biji atau per lapis seperti pempek Nek Tum. Tapi tak apa, yang penting rasanya serupa bahkan lebih mantap. Sejak itulah lidah kami tak bisa 'libur' dari pempek. Dalam sebulan pasti setidaknya ada sekali kami makan pempek.
Pempek yang hilang
Kemudian di tahun 1993 tepatnya di Jalan Gajah, Buah Batu, Bandung, lebih persisnya lagi di seberang Hotel 10 Dua, ada tenda biru penjual makanan yang hanya menyajikan dua jenis menu saja, yakni Martabak dan Pempek. Tak mereka sebut "Palembang" di tulisan setelah Pempek tersebut. Tapi yang pasti, rasa pempek yang mereka jual, mantap luar biasa! Mirip yang di Palembang. Pempeknya sendiri kenyal, dengan rasa ikan yang segar, serta cuko yang manis pedas khas pempek yang dijual di pinggiran Sungai Musi. Begitu pun martabaknya. Yang manis maupun yang asin, rasanya mantap kali lah.
Sayangnya, pada 2002, ketika membeli pempek di seberang Hotel 10 Dua, si penjualnya bilang, "Bulan depan kami tak lagi berjualan." Cukup sudah sembilan tahun mereka berjualan makanan di situ. Karena mereka akan beralih usaha, berjualan furnitur. Apa sebab? Padahal pembeli setia sudah banyak dan tak juga mereka sepi peminat.
Lalu begini kata si penjual, "Kami melihat masa depan berjualan makanan di sini sudah tak bagus. Sudah setahun lebih ini, makin banyak pemungut liar (mungkin maksudnya pungli), pengamen memaksa, preman, ah pokoknya sudah tidak baguslah." Akhirnya tahun 2003 ketika kembali menengok tempat mereka berjualan, memang sudah tak ada lagi. Hanya menjadi tempat parkir becak. Hilang sudah satu pempek dengan rasa mantap Bandung.
Begitu juga pada sekitar tahun 2001. Di daerah Cimindi ada gerobak Pempek Palembang yang berjualan di depan halaman Lippo Bank (entah jadi bank apa sekarang). Kalau tidak salah, nama pempeknya AND 99. Menurut kami, rasa pempek yang disuguhkan tak kalah enak dengan pempek para penjaja pinggir Sungai Musi. Tapi sayang, penjualnya terpaksa akan cari tempat baru, setelah 'penguasa' pinggiran jalan Cimindi mulai sering meminta uang tambahan (baca: pungli).
Kemudian pada 2007, tepatnya di Jalan Kerkof, Leuwigajah, Cimahi bersebelahan dengan Bengkel Motor AHASS tampak ada sebuah kedai kecil yang di bagian depannya terpampang tulisan "Pempek Palembang" dengan foto pempek kapal selam.
Tapi lagi-lagi sayang disayang, dia hanya jualan setahun saja. Alasannya, "Di sini ngga bagus. Preman minta jatah tiap hari hampir setiap saat. Pagi, siang, sore, malam. Alasannya ada saja. Untuk keamananlah, untuk tambahan rokok, untuk bersihin selokan yang kotor karena sampah kami, dan banyak lagi permintaan mereka. Ya sudah saya lebih baik cari tempat lain saja."
Itulah beberapa cerita dari penjual pempek di kawasan Bandung yang dilibas pungli. Pasti banyak cerita serupa dari penjual makanan khas daerah lainnya. Betapa pungli sangat nyata menindas rakyat kecil dan merusak pengembangan UMKM di Pulau Jawa. Bisa jadi bahkan di Indonesia.
Walau begitu, masih ada juga penjual kuliner khas daerah yang mujur seperti Pempek Kemayoran, Pempek Pa' Raden, dan lainnya. Maka bagi para pengampu pemerintah daerah, janganlah tindas mereka. Karena mereka adalah pelestari kuliner Nusantara.
Catatan:
Kami dengar ada pempek yang rasanya dibilang tak kalah mantap dengan yang ada di Palembang. Namanya Pempek Wiwin yang berlokasi di Jl. Wibawa Mukti 2 kawasan antara Jatiasih-Jatisari.
0 Comments